Dulu, fotografi hanya dilakoni sebagai hobi orang kaya dan mampu dilakukan segelintir orang, lantaran harga perangkatnya yang selangit.
Menjadi pekerja fotografi di majalah ternama pun rasanya sudah sangat bergengsi.
Kini fotografi bisa dikatakan tak lagi menjadi barang mewah. Segala macam merek ponsel yang berlomba-lomba menjajakan keunggulan kamera mereka, membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi fotografer.
Apalagi saat ini, keberadaan media digital juga makin menjamur. Saluran media sosial seperti Instagram, Tumblr, hingga Pinterest, membuat siapapun bisa dengan mudah memamerkan hasil jepretan mereka ke banyak orang, dan menjadi 'fotografer dadakan'.
Sementara di sisi lain, tidak sedikit media cetak yang memutuskan tutup, karena harga produksi yang melambung, dan beralih ke media online.
Lalu bagaimana nasib fotografi di media cetak? Simak perbincangan The Crafters dengan Robby Agus, fotografer fashion dan komersial.
Saat di SMP, ayah saya memiliki ruangan khusus untuk mencuci dan mencetak foto. Hitam putih . Saya sering melihat betapa menariknya proses tersebut. Itu yang menyebabkan saya jatuh cinta kepada dunia fotografi. Bagaimana sebuah permainan cahaya bisa menghasilkan sebuah gambar.
Hingga ada teman yang bekerja di sebuah majalah fashion dan menawarkan saya untuk menjadi kontributor fashion spread di majalah mereka. Saya sangat beruntung, bisa berkarya di beberapa majalah fashion seperti majalah Registry, Kartini, Herworld, Prestige Indonesia, Cosmopolitan, majalah Dewi dan lainnya.
Hasselblad, Canon, dan Olympus.
Perbedaan utama terletak pada sisi klien. Foto fashion kebanyakan ditujukan untuk media cetak, seperti majalah; sedangkan foto komersial lebih ke produsen atau brand.
Tapi, ada juga foto fashion yang merupakan foto komersial, misalnya perusahaan garmen yang ingin mengiklankan produknya.
Tentunya, masing-masing mempunyai tantangan tersendiri. Namun, dalam banyak hal, pengerjaan proyek fotografi bagi keperluan komersial lebih melibatkan beragam pihak. Mulai dari klien, agency periklanan, dan tim pendukung proyek, seperti fashion stylist, food stylist, dan produser.
Sementara secara teknis, standar foto yang diharapkan sangat tinggi, dengan risiko kesalahan seminimal mungkin.
Persiapan adalah yang paling penting dilakukan. Untuk menjalankan suatu proyek fotografi, kita perlu melakukan pre production meeting untuk membahas brief yang sesuai keinginan klien, hingga hal detail dalam proyek.
Misalnya berapa model yang dibutuhkan, property dan wardrobes yang sesuai kebutuhan, serta setting atau lokasi pemotretan yang sesuai dengan konsep layout dari klien. Karena dalam pemotretan komersial, layout adalah key visual yang harus dicapai.
Saya percaya, setiap wajah manusia memiliki angle yang terbaik; dari situ saya mengeksplorasi sisi terbaiknya semaksimal mungkin.
Ciptakan suasana yang serileks mungkin, sehingga mengurangi pressure yang terjadi dalam proses pemotretan.
Pada awalnya, saya akan memberikan kebebasan kepada model untuk menggali kemampuan dirinya, sehingga membangun rasa percaya diri sang model. Setelahnya, barulah kami mengarahkan ia sesuai briefing konsep yang diinginkan klien.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Secara singkat, idealisme yang harus diterapkan dalam menjalankan proyek pemotretan adalah: membuat klien puas dengan hasil karya, termasuk dalam pelayanan yang terjadi selama masa produksi. " color="#45ada8"]
Momen yang paling sukar adalah saat pemotretan talent komersial di outdoor. Kendalanya adalah cuaca yang sering berubah-ubah, malah terkadang arah matahari tidak sesuai dengan yang kita inginkan.
Dalam dunia fotografi, sejauh ini hasil karya saya masih lebih banyak diperuntukan untuk media cetak, misalnya print ad, brosur, poster, flyer hingga media cetak luar ruang, seperti billboard dan JPO.
Meski begitu, saat ini juga makin banyak permintaan untuk mengerjakan fotografi komersial yang di gunakan untuk media digital.
Terkait proses produksi, tidak ada perbedaan mendasar antara era cetak dan digital. Namun biasanya, media cetak membutuhkan foto berdasarkan layout; sedangkan klien untuk media digital umumnya meminta stock image yang lebih banyak untuk kebutuhan harian media sosial mereka.
Karena keperluannya buat media digital seperti media sosial, resolusi foto juga lebih kecil dibandingkan buat media seperti billboard.Menurut saya, ke depannya era digital ini memang bakal makin berkembang, mengingat budget produksi yang dibutuhkan klien bisa dibilang lebih rendah dibandingkan foto untuk media cetak. Salah satunya, buat materi digital, klien bisa tidak perlu membayar biaya placement, seperti di koran atau media luar ruang.
Saya pikir, mahalnya harga produksi kertas, bakal membuat kompetisi antar majalah, termasuk seperti majalah fashion, akan sangat keras. Kini juga, pihak klien akan lebih selektif memilih media yang mereka jadikan pilihan.
Karena itu, foto buat media cetak bergantung pada perusahaan medianya, konten mereka harus benar-benar bagus, baik dalam hal isi maupun visualisasinya; supaya bisa terus bertahan.
Annie Leibovitz, Peter Lindbergh, dan Patrick Demarchelier. Untuk fotografer lokal, saya mengagumi Darwis Triadi, karena kemampuan beliau membuat foto beauty yang sangat fenomenal, bahkan tanpa manipulasi atau digital imaging (DI).