Diskusi tentang Kreasi dan Distribusi Konten VR

Posted by Dimas Gityandara on Apr 24, 2018 4:07:50 PM

Kini, para kreator tak hanya berlomba menyajikan konten menarik, tapi juga mengembangkan penyajian konten yang inovatif lewat pemanfaatan teknologi, seperti drone, AR (augmented reality), atau VR (virtual reality); dengan harapan, konten tersebut menawarkan variasi pengalaman yang menarik buat masyarakat.

Persoalannya, apakah konten dengan penyajian gaya baru atau teknologi terkait bisa diterima oleh masyarakat? Kalaupun bisa, bagaimana caranya?

Pertanyaan tersebut menjadi benang merah dari diskusi panel XR Meetup bertema ​“Let’s Talk Local Content: How New Digital Contents, Including VR-AR Could Benefit Your Companies or Clients”, di Kolega Coworking Space, 19 April lalu. Untuk mendukung bahasan, hadir sebagai pembicara, Murdhi Purwohandoko​ (Head of Manticore Studio​), Muhammad Hanif (Head of R&D Rumah Sunatan​), dan Syarief Hidayatullah (SVP Creative GetCRAFT).

Tantangan membuat konten yang tepat sasar

Diskusi dibuka dengan bahasan tentang bagaimana virtual reality (VR) membantu campaign, dan bisa diterima masyarakat Indonesia. Murdhi Purwohandoko dari Manticore Studio yang sudah membuat banyak konten VR bercerita kalau dari sisi brand, masih banyak yang meminta video VR seperti yang mereka lihat dan anggap keren di YouTube, padahal berasal dari luar negeri (dan belum tentu konten itu cocok untuk penonton di Indonesia).

Menurutnya, untuk membuat konten yang bisa diterima masyarakat lokal, perlu dilakukan riset dulu. Kreator harus memahami perilaku dan kebiasaan mengonsumsi konten masyarakat Indonesia. Misalnya, menurut Murdhi, beberapa kebiasaan orang Indonesia terkait konten digital adalah suka selfie, ada kecenderungan ini jadi yang pertama untuk sharing hal-hal menarik, dan mengedepankan waktu bersama keluarga. Dari situ, ide konten yang tepat sasar bisa dikembangkan.

Lepas dari itu, Syarief Hidayatullah dari GetCRAFT menerangkan tentang bagaimana sebaiknya melakukan riset dan merancang perencanaan konten yang solid untuk sasaran audiens tertentu. "Mulai dari menentukan persona audiens yang ingin disasar, memahami apa minat dan hal-hal yang jadi kegelisahan mereka sehari-hari, seperti apa pola konsumsi informasinya, dan seperti apa konten yang mereka suka," ujarnya.

Selanjutnya adalah menentukan tujuan atau respon yang kita harapkan dari sasaran audiens setelah mengonsumsi konten yang kita sajikan. Setelahnya baru kita menentukan channel, dan tipe konten yang tepat berdasarkan channel pilihan. Terkait topik, ia juga menyatakan bahwa kita bisa menggunakan alat deteksi tren dari Google yang terbuka untuk digunakan siapa saja, yaitu Google Trends.Syarief juga menambahkan, jika merujuk pada tipe konten dari brief konten video di GetCRAFT selama 2017, jenis motion graphic dan how-to tercatat yang paling digemari brand untuk menjadi konten di berbagai campaign pemasaran yang mereka lakukan.

Aplikasi konten VR pada audiens lokal

Selain soal tantangan membuat konten lokal yang tepat sasar, Murdhi Purwohandoko juga sempat mengungkapkan kalau konten VR akan makin tepat sasar jika diramu dan diterapkan secara tepat pula. Terkait hal itu, campaign bertema "Sunat Zaman Now" yang digelar Rumah Sunatan bisa jadi contoh menarik, terutama terkait aplikasi konten VR.

Muhammad Hanif dari Rumah Sunatan menyatakan, “Market sunat terbesar itu ada di Indonesia, dan Rumah Sunatan menawarkan pengalaman baru ketika sedang disunat. Yaitu teknologi VR, agar masyarakat, terutama anak-anak tidak lagi takut ketika sedang disunat.” Hasilnya, Rumah Sunatan jadi tempat sunat paling dicari masyarakat Indonesia saat ini.

Bagaimana aplikasi distribusi konten lewat teknologi VR di Rumah Sunatan? Mereka menyediakan device untuk dipakai para anak yang disunat; dan konten itu efektif untuk mengalihkan mereka dari kekhawatiran disunat. "Jadi dengan konten VR, anak-anak bisa merasakan sunat di luar angkasa, di dalam air, bahkan di era dinosaurus!" ujar Hanif, disusul tawa para peserta diskusi.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="``Tentukan persona audiens yang ingin disasar, pahami minat dan hal-hal yang jadi kegelisahan mereka sehari-hari, seperti apa pola konsumsi informasinya, dan seperti apa konten yang mereka suka.`` — Syarief Hidayatullah, SVP Creative GetCRAFT" color="#45ada8"]Hanif juga menuturkan kalau ia mengharapkan ada lebih banyak konten VR yang bisa ditawarkan pada konsumennya. Salah satu tantangan saat ini adalah penyediaan device dan konten lokal. Soal konten lokal sendiri, memang produksinya masih tidak murah. Murdhi Purwohandoko menyatakan kalau waktu produksinya juga berkisar di antara 2-3 minggu sampai 6 bulan.

"Memang tidak mudah dan murah. Tapi juga jangan terburu-buru, karena malah bisa jadi tidak works. Sediakan pula waktu untuk trial, karena itu penting. Intinya, jangan sampai sudah capek bikin, hasilnya tidak sesuai harapan," tandasnya.

Topics: Educating, Media Production, Videography

Related articles