Stella Lee: Angka Followers Bukan Tolak Ukur Kesuksesan Influencer

Posted by Zustina Priyatni on Oct 3, 2017 1:06:43 PM

Sebagai salah satu dari segelintir nama yang memulai tren beauty blogging di Indonesia, Stella Lee bisa dibilang cukup dijadikan panutan. Ia sendiri mulai ngeblog pertama kali pada 2008.

"Saat itu, banyak yang ngeblog, jadi saya pun terbawa," ujarnya saat ditanya apa yang membuatnya terjun ke dunia blogging.

'Demam' itu ternyata menyeret Stella hingga saat ini, sampai kini bisa menjaring lebih dari 45 ribu pengikut di akun instagram dan video di YouTube channel-nya yang dilihat sampai lebih dari seperempat juta kali.

Berikut perbincangan The Crafters dengan Stella:

Bagaimana awalnya bisa jadi beauty blogger? Apakah memang sudah ada rencana untuk serius sejak awal?

Dari mulai ngeblog pada 2008, saya baru fokus ke beauty pada 2011. Awalnya, blog saya memang benar-benar blog pribadi aja, masih ngomongin hal-hal yang terjadi sehari-hari. Di situ, saya menuangkan apa yang saya senengin. Pas mulai remaja dan lagi senang-senangnya dandan, topik yang dituangkan di blog pun jadi banyak tentang beauty. Tidak ada tujuan apa-apa pada awalnya.

Tapi sekarang ini kan beauty blogger udah seperti selebriti. Menurut kamu?

Enggak sama sekali sih. Menurut saya, beauty blogger ya sama aja seperti orang biasa. Hanya saja, mereka senang berkreasi dengan make up, dan hidupnya relatif lebih dekat dengan hal-hal mewah, walaupun tidak berarti glamor juga.

Yang jelas beauty blogger itu kerjanya dekat dengan art, jadi harus terus belajar dan mencari inspirasi. Selain itu juga, beauty blogger harusnya enggak cuma tahu soal make up. Dia juga harus tahu teknik editing, menulis, foto, bikin video, dan lain-lain. Jadi ya all around.

Di tengah fenomena saat ini, apakah jadi merasa perlu menjaga image?

Paling di awal-awal saja. Dulu, sempat merasa harus selalu tampil seperti yang terlihat di Instagram, jadi ya selalu pakai make up yang tebal banget. Tapi kelamaan, saya merasa aneh sendiri. Karena, sehari-hari, orang enggak perlu make up setebal itu. Akhirnya saya mulai tone down.

Lalu mulai belajar menyesuaikan make up dengan occasionMake up tebal misalnya, hanya untuk acara-acara tertentu, tapi kalau sehari-hari enggak pingin pakai make up, ya udah, enggak apa-apa juga kok tampil tanpa make up.

Tapi, untuk di media sosial, apakah ada rasa perlu membangun image khusus? 

Balik lagi ke cerita awal, karena it just happened as it is, dan enggak merencanakan diri untuk jadi beauty blogger, jadi ya memang tidak ada kebutuhan untuk menentukan image tertentu. Natural aja.

Mungkin berbeda dengan beauty blogger yang banyak muncul belakangan ini, di mana mereka memang sudah aspired to be a beauty blogger. Jadi memang ada keperluan untuk membedakan diri dengan yang sudah ada. Kalau pun saya muncul belakangan ini, mungkin juga bakal merasa perlu juga.

Apa hal yang kamu anggap sebagai tolak ukur kesuksesan?

Tergantung sih. Tapi biasanya saya merasa, sukses itu adalah saat bisa menulis artikel yang sangat berguna untuk pembaca. Apalagi kan kecenderungan saat ini, karena banyaknya informasi yang tersebar, orang lebih hanya membaca informasi yang mereka anggap penting dan memuaskan.

Apalagi kalau sampai mendapa email dari pembaca yang mengaku cocok dengan produk yang saya review. Itu berarti banget buat saya.

Bagaimana dengan angka followers

Sebenarnya sih kembali lagi ke tujuan blog, apakah diarahkan untuk bisnis atau tidak. Kalau tujuannya benar-benar untuk sharing, maka angka itu bukan sesuatu yang mesti dikejar, karena followers akan mengikuti dengan sendirinya.

Selain itu juga, angka followers pun tidak mutlak jadi tolak ukur apakah seorang blogger atau social media influencer lebih sukses atau mendapatkan income lebih tinggi dibandingkan yang lain. Tergantung target market-nya.

Misalnya, blogger yang khusus melakukan review barang-barang lux. Itu kan target market-nya pasti lebih niche, jadi kemungkinan besar followers-nya lebih sedikit. Tapi, misalkan merek lux itu sedang ada campaign, bisa jadi tetap akan menggunakan blogger itu, dan berhasil dalam campaign itu, walau pun followers-nya sedikit, karena memang lebih targeted.

Menurut kamu sendiri, lebih oke yang mana, niche atau mass?

Kembali ke persona masing-masing, dan sebetulnya mau fokus ke niche atau mass audience akan sama aja sih. Misal, ada yang memilih untuk review lipstik seharga 50 ribu, mungkin yang membaca akan lebih banyak, sehingga informasi yang disampaikan memang akan menjangkau lebih banyak orang.

Atau ada juga yang idealistis, dan memang hanya mau review produk berkualitas tinggi. Fans-nya berbeda, tolak ukur kesuksesannya juga berbeda. Dan kadang hal itu juga lahir dari misi pribadi, dan bisa sangat personal.

Apa pendapat kamu tentang alasan blogging artikel mulai bergeser ke Instagram atau vlog?

Salah satunya adalah kemalasan membaca. Tapi menurut saya sih, akan tetap ada orang yang suka membaca kok, termasuk young reader. Tapi kalau ditanya, apakah akan growing atau gimana, mungkin jawabannya untuk saat ini adalah akan jauh lebih challenging.

Dari pengalaman kamu selama ini, apa sih benang merah konsep dari konten-konten yang populer? Apakah kamu punya formula konten viral?

Biasanya lebih ke format list sih. Dulu, sekitar dua tahun lalu, lebih banyak yang suka format review produk. Tapi sekarang ini terlihatnya lebih ke review aplikasi make up. Jadi ya memang ada tren yang harus kita amati dan pertimbangkan juga.

Kalau untuk formula konten viral, jujur enggak ada. Seringkali saya pikir konten ini akan viral, eh ternyata enggak; dan juga sebaliknya. Tapi justru itu yang bikin seru sih.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Kalau pun 10 tahun lagi beauty blogging sudah enggak jadi tren lagi, saya mungkin akan tetap melakukannya. Karena semua harus sesuai passion dan interest saya." color="#45ada8"]

Sebagai penulis juga, kamu pasti pernah mati gaya dong. Nah, apa yang biasanya kamu lakukan untuk mengatasinya?

Masa jenuh itu udah pasti ada. Dan saat itu terjadi, yang biasanya saya lakukan adalah stop for a while, sampai dapet mood-nya lagi. Apalagi saya orangnya bosenan, terutama saat melakukan hal yang repetitif, pasti bakal jenuh banget. Jadi menurut saya, hal seperti itu wajar dan sebaiknya jangan dipaksain, atau malah bisa bikin stres. Solusinya, coba untuk sementara, lakukan aktivitas lain dulu.

Berapa lama biasanya 'stop for a while' tadi?

Tergantung. Misalnya untuk sponsored content, yang saya sudah tandatangani kontraknya, tentu saja harus tetap dipenuhi, jadi enggak bisa seenaknya tergantung mood. Tapi buat konten personal sih ya enggak ada target atau batasan tertentu. Pokoknya sampai saya merasakan ada feel lagi aja.

Ini kan seni, jadi feel itu penting. Lagipula, pada awalnya saya melakukan hal ini karena passion, jadi penting untuk ngejaga itu biar nggak hilang karena merasa bahwa bikin konten sudah cuma jadi rutinitas aja.

Beauty itu kan lekat banget sama tren, bagaimana cara kamu menjaga jati diri, sambil tetap fleksibel mengikuti tren yang berubah-ubah?

Be genuine. Isi harus personal tentang hal-hal yang memang saya sukai. Misal, karena saat ini saya sedang suka segala sesuatu yang berbau Jepang, maka isinya pun seputar itu. Jadi sesuai kata hati aja.

Kalau pun ada tren make up Jepang lagi booming pun, kalau memang saya enggak suka, ya tetap enggak akan saya tampilkan.

Apa rencana kamu 10 tahun ke depan?

Kalau pun beauty blogging sudah enggak jadi tren lagi pada saat itu, saya mungkin akan tetap melakukannya. Karena semua harus sesuai passion dan interest saya.

Topics: Influencers, Inspiring

Related articles