Bisnis Komik di Indonesia, Masih Bertahankah?
Sekitar tahun 1970-an, komik Indonesia dipercaya berada di era puncak kejayaan, saat para komikus mulai menggeluti tren dengan mengangkat isu dan sejarah lokal dalam bentuk komik. Sebut saja R.A Kosasih yang dinobatkan sebagai Bapak Komik Indonesia, yang kala itu menciptakan seri Mahabarata yang karyanya hingga sekarang rasanya tidak lekang waktu, bahkan untuk generasi millenial sekalipun.
Era kejayaan tersebut pastinya telah melewati proses sejarah yang cukup panjang. Mulai dari komik strip karya komikus Indonesia yang biasa terbit di surat kabar dalam bentuk komik strip pendek, hingga sekarang, webtoon (komik digital) yang sangat populer di kalangan anak muda. Tahun 1930-an dipercaya para pemerhati sebagai awal mula kelahiran komik di Indonesia. Berlanjut pada tahun 1950-an, serial komik Amerika mulai dibukukan oleh penerbit-penerbit Indonesia dan mendapat perhatian yang cukup tinggi dari pembacanya.
Baca Juga: Tantangan yang Dihadapi Content Creator Saat Ini
Turunnya bisnis ini mulai dirasakan pada tahun 2005, saat komikus lokal tidak berhasil mendapatkan banyak pasar di toko-toko buku karena popularitas manga asal Jepang yang membludak. Tergesernya komik-komik Indonesia sangat dirasakan oleh Bonni Rambatan, Co-Founder dan CEO dari NaoBun Project, salah satu agency komik yang bergerak di Asia Tenggara.
“Bahkan saat itu, penerbit memutuskan untuk mengganti negara terbit komik lokal menjadi ‘Jepang’, karena orang Indonesia tidak tertarik dengan komik buatan sini,” hal ini diungkapkan Bonni saat menghadiri acara Indonesia Creative MeetUp bertema Comic Business Nowadays pada tanggal 31 Juli lalu yang diadakan di SAE Indonesia, Jakarta Selatan. Selain Bonni, hadir juga seorang kreator komik Instagram, Winda Khalisa (@kekomukan) dan Katerine Yan, seorang Project Manager dari Comico Indonesia. Tiga pembicara yang hadir dalam panel berdiskusi kritis tentang bisnis komik di Indonesia dan menginspirasi peserta yang hadir.
Komik Modern Indonesia
Saat ini, komik di Indonesia kembali menjadi budaya populer. Sejak mulai banyak komikus yang berani mengambil risiko untuk berkarya kembali dan diikuti lahirnya komikus-komikus muda berbakat di berbagai platform. Memang, komik telah berhasil bertransformasi dalam varian medianya karena perkembangan teknologi. Contoh saja Winda Khalisa, yang lebih dikenal dengan nama akun @kekomukan di Instagram. Winda yang saat ini masih duduk di bangku SMA juga terkejut dirinya mendapatkan banyak followers di Instagram karena karya komik satu panelnya.
“Aku mulai sejak tahun 2016 awalnya. Saat itu, aku merasa 'gaji buta' (read: menganggur) di rumah karena pulang sekolah enggak melakukan apa-apa. Sampai pada akhirnya, aku enggak mau gitu terus dan aku memutuskan untuk belajar digital drawing, karena aku memang hobi menggambar sejak kecil,” tuturnya. Winda yang saat ini memiliki lebih dari 290 ribu followers ini akhirnya memanfaatkan sponsored content di Instagram. “Aku merasa, sebagai komikus dengan followers banyak di Instagram bisa membuat aku tetap produktif menggeluti hobi sambil mencari pemasukan,” tambahnya.
Fenomena sponsored content dalam komik strip memang sudah dirasakan oleh Syarief Hidayatullah, SVP Creative GetCraft yang saat itu hadir sebagai Moderator. Menurutnya, demand kreatif dari para klien untuk konten visual berbentuk komik dan infografik semakin bertambah tiap tahunnya. Klien juga menganggap bahwa komik strip merupakan bentuk konten yang memiliki audiens yang loyal dengan kreatornya. Maka itu, peluang kreator komik saat ini dirasa sangat besar dalam industri konten berbayar oleh Syarief.
Baca Juga: Fenomena Sponsored Content dalam Comic Strip
Lain lagi dengan webtoon, atau bentuk komik digital yang pertama kali dicetuskan dari negara Korea Selatan. Berbeda dengan bentuk komik tradisional manga dari negeri Sakura, media untuk membaca webtoon ini adalah gadget; smartphone, tab, bahkan laptop. Peluang ini dilihat oleh Comico Indonesia, sebuah platform webtoon yang berasal dari Jepang. “Kami melihat minat baca yang meningkat di Indonesia. Dan menurut kami, salah satu rising star-nya adalah komik. Salah satu misi kami adalah ingin menjadi salah satu platform yang bisa meningkatkan minat baca di sini,” jelas Katerine Yan, Project Manager Comico Indonesia.
Dari sisi NaoBun Project, bicara tentang komik Indonesia, Bonni mendapati bahwa saat ini, para pembaca komik impor sering mengeluhkan kenaikan harga komik. Namun di lain sisi, para pembaca tidak mengeluh jika komik lokal menaikkan harga sekitar 500-1000 rupiah. Ini menunjukkan bahwa apresiasi pembaca untuk komik lokal semakin besar. Namun, seiring bertumbuhnya industri, salah satu misi NaoBun Project adalah juga untuk melindungi hak karya para komikus. “Di NaoBun sendiri, kami berusaha untuk menjadi agen yang menjembatani dan melindungi hak-hak kreator. Mulai dari HKI--kepemilikan Intellectual Property untuk si kreatornya sendiri,” jelas Bonni. Memang, di era media sosial yang memicu plagiarisme seperti ini, para kreator sudah harus lebih melek untuk melindungi karya-karya mereka.
Proses dan Genre Populer
Bicara tentang proses penggarapan sebuah komik, jelas tiap-tiap platform memiliki rentang waktu yang berbeda-beda. Dari sisi kreator, Winda mengungkapkan bahwa ia harus meluangkan beberapa jam waktunya untuk membuat satu komik satu panel. “Aku biasanya menghabiskan waktu 4-6 jam per hari untuk membuat komik di Instagram. Waktu itu termasuk cari ide, sketching, line art, coloring, sampai detail dan finalisasi,” jelasnya.
Jika bicara tentang ide sendiri, Winda menemukan salah satu cara untuk terus memuaskan pembacanya. “Untuk ide biasanya aku ambil dari pengalaman sehari-hari, interaksi di pertemanan, tren, sampai memilih dari komentar yang masuk di tiap posting-an di Instagram. Dari komentar-komentar itu aku pilih-pilih lagi, mana yang menarik untuk aku jadikan komik,” tutur Winda yang saat ini konsisten menerbitkan minimal satu konten untuk akun Instagramnya.
Ceritanya akan sangat berbeda dengan komik-komik berbentuk long-form yang sering digarap oleh NaoBun Project dan Comico Indonesia. Komik seperti ini memiliki waktu berproses yang tentatif, tergantung oleh kompleksitas cerita, gambar, dll. Namun umumnya, Bonni dan Katerine menyatakan bahwa kreator akan membutuhkan 3-6 bulan waktu hingga rilis. “Semua dari mulai proses perumusan ide, inkubasi, riset untuk menemukan sebuah premis, lalu proses penyusunan cerita dalam uraian babak, sequence, episode, seperti apa pembukanya, klimaksnya, cliffhanger-nya, dst., sampai kemudian scripting, visual development, finalisasi, dan akhirnya siap rilis,” ungkap Bonni.
Baru kemudian diskusi sampai ke tahap genre yang populer untuk komik Indonesia. Saat ditanyakan tentang hal tersebut, Bonni dan Katerine yang sudah cukup lama memperhatikan komik sebagai media populer menyatakan sepakat bahwa komik dengan genre romansa paling mudah dinikmati pembaca. “Karena premisnya sederhana, kan. Apakah A jadi berakhir jadian sama si B?” jelas mereka.
Selain romansa, genre komik lainnya yang banyak dinikmati pembaca adalah komedi dan horor/ misteri. “Mudahnya, para pembaca itu Sepertinya suka dibikin galau, dibikin ketawa, dan ditakut-takutin.” tegas Bonni. Ia, Katerine dan Winda di akhir diskusi juga tidak lupa mengingatkan para komikus untuk terus menggali pesan yang ingin disampaikan. Idealisme dan pasar bukanlah sesuatu yang sangat bersebrangan. Karena pada akhirnya, para komikus ini memiliki andil dalam membangun moral bangsa lewat komik-komik buatan mereka, seperti komik R.A Kosasih--yang tidak pernah lekang waktu.
Topics: Inspiring, Visual Designers