Lala Karmela : Selebriti Influencer yang Tetap Menjadi Diri Sendiri

Posted by Dimas Gityandara on Jul 31, 2018 3:10:57 PM

Media sosial seringkali membuat kita merasa dekat dengan orang yang belum kita kenal sebelumnya. Karena sering membuka feed Instagram-nya, melihat IG Story-nya, menonton channel YouTube dan mengikuti keseharian si influencer atau seleb tertentu, bukan hanya merasa dekat, kita juga kita juga kerap mendapatkan inspirasi dari idola kita itu, entah itu dari segi fashion, gaya hidup bahkan sampai ke cara berpikir mereka. Tak jarang, kita juga membeli produk yang mereka rekomendasikan atau dipakai oleh mereka.

Kemampuan selebritas untuk dapat meng-influence masyarakat inilah yang kadang membuat banyak brand menjadi tertarik untuk bekerja sama dengan mereka.

Kali ini, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Lala Karmela, seorang musisi yang juga dikenal sebagai celebrity influencer.

Baca Juga: Bayu Skak: Memerangi Mata Manusia

Seperti apa project pertama ketika menjadi influencer?

Kerjaan pertama sebagai influencer itu di festival musik. Waktu itu, festival musik yang pertama adalah WTF (We The Fest). Jadi aku diminta datang ke sana, diberi complementary tiket, terus ada kewajiban untuk nge-posting diri aku di sana. Itu sih yang pertama kali, jadi memang masih tetap berhubungan dengan musik.

Apa yang menyenangkan dari profesi influencer?

Menurut aku, hari gini job yang paling menyenangkan itu adalah influencer. Karena di situ masih relatable ke lifestyle diri kita dan it’s very easy paid work. Kita posting setelah itu dapat income. Akhirnya social media kita menjadi platform juga buat mereka untuk promote their product atau their events.

Seperti apa sih proses kreatif dalam membuat konten di media sosial?

Nah itu yang sekarang menjadi challenges-nya. Karena sekarang orang sudah benar-benar niat dan effort banget dalam membuat konten. Kalau dulu awalnya sekadar yang penting ada produknya, sekarang personal touch itu sangat berpengaruh terhadap produk itu sendiri.

Jadi kadang-kadang yang menjadi tantangan adalah permintaan dari produknya dan juga karakter diri kita. Karena tentunya kita mau post itu bisa menjangkau market yang tepat dan seluas-luasnya. Kadang-kadang tantangannya gimana kita bikin konten ini enggak terasa fake atau enggak terasa jualan. Antara outlook yang bagus, pakai kamera yang bagus, editan yang bagus atau caption yang benar-benar penuh perasaan.

Sekarang aku lihat effort menjadi influencer tuh invest-nya di situ. How you project your character, hingga akhirnya membuat produknya itu bersinar karena personality dan pencitraan kita di media sosial.

Apakah ketika membuat konten, kamu dituntut mengikuti brief atau membuat sebebasnya?

Brief is always important. Karena setiap brand juga mempunyai tujuan di dalam menjual. Mereka kan sudah hire kita, sudah bayar kita, maka kita harus memenuhi kewajiban.

Tapi kadang-kadang kita juga mencari jalan tengah. Kompromi, di mana setelah menerima brief-nya, kita juga membuat (konten) yang akhirnya enggak sekadar tempat buat jualan barang. Biasanya kita ngasih beberapa opsi dari segi fotonya, yang enggak menunjukkan ini jualan keras banget. Supaya enggak damage image kita.

Misalnya (bekerja sama dengan) produk minuman. Bagaimanapun juga enggak bisa sekadar jualan minumannya aja, tapi aku harus put myself as a part of that. Karena aku juga seorang musisi, apakah aku taruh brand atau produknya ketika main gitar. Dan justru kadang-kadang yang kayak gitu di-appreciate oleh brand-nya.

Jadi mereka (biasanya) ngasih brief tapi enggak yang superketat. Walau begitu untuk caption-nya, mereka punya panduan-panduan yang lebih spesifik. Karena kadang-kadang kalau caption-nya ke mana-mana malah jadi “ini maksudnya apa sih?”.

Apakah ketika sedang berada di atas panggung kamu harus merefleksikan brand yang sedang bekerja sama?

Tergantung ikatan kerja samanya sih. Kalau misalnya brand ambassador, aku pasti tetap mem-project sedikit karakter dari brand-nya selama terikat kontrak, karena menjadi representatif mereka selama kurun waktu itu. Tapi kalau sekedar lepas-lepasan yang penting posting aja, itu biasanya enggak harus kemana-mana bawa brand itu.

Biasanya apa sih yang mau membuatmu mau bekerja sama dengan suatu brand?

Kalau aku anaknya tetap ingin nunjukkin bagian dari diri aku di setiap posting-an, walaupun itu sifatnya kerjaan. Jadi kadang-kadang melihat brand-nya juga, aku harus bisa relate. Kompromi sih pasti, tapi akan aku lihat worth it or not, sampai ke titik yang penting enggak sell out gitu.

Apakah pekerjaan sebagai influencer berpengaruh dengan karier sebagai musisi?

Enggak ngaruh sama sekali ke musik aku, maksudnya dari segi kreatif. Tapi dari segi engagement, mungkin kita enggak pernah tahu kalau ternyata pendengar musik aku juga suka sama produk yang lagi di-endorse saat itu, jadi kayak a level of relation between me and the market gitu. Tapi kalau ke musiknya sendiri, enggak sih,

Tapi kadang bisa kolaborasi juga. Misalnya waktu buat video clip di Jepang. Aku kolaborasi dengan brand biskuit di mana aku disponsorin video clip-nya tapi juga mengekspos brand mereka di media sosial, kayak di YouTube dan Instagram. Simbiosis mutualisme yang kayak gitu is a very good deal. Karena itu juga bantuan dana apalagi buat indie artist kayak aku. Jadi bisa saling menunjangnya di situ.

Pernah enggak ada brand yang menawarkan kerja sama tapi bertentangan dengan idealisme Anda?

Sejauh ini sih belum pernah. Karena aku anaknya tetap coba meletakkan diri aku di segala projection di media sosial. Karena buat aku, di media sosial kita bisa menciptakan diri kita menjadi seorang yang benar-benar berbeda, bisa mencitrakan diri yang berbeda, dan aku anti itu. Orang bisa melihat diri aku (apa adanya) dari sosial media, jadi kalau mereka ketemu secara real, mereka yang kayak “ohh enggak beda dari sosial media. Apa yang di-project di social media is who she is".

 

[edgtf_blockquote show_mark="yes" color="#111111" text="I don’t let social media be my life atau sebagai slave of social media. Itu yang paling penting sih."]

Apa sih yang membuat konten di media sosialmu berbeda dengan musisi lainnya?

Karena mungkin aku tetap "taruh Lala" di situ. Sekarang kan kayak sosial media sudah bisa menjadi tempat buat beriklan. Aku mengerti kalau ada orang yang melakukan itu dengan media sosial mereka, which is fine, itu kerjaan mereka. Tapi kalau aku konsepnya enggak kayak gitu. Aku tetap menaruh diri aku sendiri, Aku enggak takut dengan jumlah followers kemarin bisa 11 ribu likes, hari ini mungkin cuma 1000 likes. Karena pada akhirnya, kalau misalkan patokannya cuma likes, kita tahu di dunia ini kita enggak bisa pleased everybodyEverybody has own color, setiap orang punya seleranya masing-masing. For me that’s cool.

I don’t let social media be my life atau sebagai slave of social media. Itu yang paling penting sih.

Apa rencana ke depan?

Semoga nantinya, aku masih terus bisa menjadi influencer yang enggak cuma sekadar terikat oleh produk, so I can influence people by just being myself, being the music person I am, dan menjadi Lala sehari-harinya. Baik itu ketika bermusik atau ketika melakukan hal-hal lain. So just hope aku bisa tetap berada di atas media sosial, dan enggak dalam tekanan media sosial.

Karena aku melihat banyak banget sekarang yang kondisinya seperti itu. They got so crazy with social media, because they got so much money out of it. Tapi at the end of the day you want people to know you as you, not as what social media makes you.

Apa project ke depannya sebagai influencer?

Sebagai influencer aku lagi banyak project di (bidang) traveling. Biasanya juga masih ada project yang berhubungan dengan kecantikan atau lifestyle. Tapi memang banyak project traveling. Karena mungkin kebetulan akhirnya terlihat kalau aku orangnya suka traveling, terutama ke alam.

Baca Juga: Cara Menentukan Harga Posting Bagi Influencer

Topics: Empowering, Interviews

Related articles