Irfan Ramli, Bedah Profesi Sang Penulis Naskah

Posted by Kalya Risangdaru on Apr 26, 2018 11:01:42 PM

Beberapa tahun terakhir, industri film nasional sedang dihiasi karya-karya cemerlang anak bangsa. Penonton film Indonesia meningkat drastis dari total 2016, setidaknya naik 100 persen, dan diyakini makin berkembang tahun ini.

Dengan tema beragam, para sineas muda berhasil menjaring jumlah penonton dengan capaian angka di luar dugaan. Mulai dari tema romansa, komedi, sampai film berlatar budaya dan sejarah yang dibungkus manis, film Indonesia diprediksi makin mampu bersaing dengan karya mancanegara terkait merebut perhatian penikmat film.

Yang jelas, apapun filmnya, dalam inti produksi sebuah film ada seorang penulis naskah. Perannya teramat penting, hingga kerap disebut sebagai backbone dalam produksi karya sinema. Penulis naskah dituntut untuk memiliki pengetahuan luas yang mendukung kemampuannya mengembangkan cerita atau gagasan, agar cerita dalam film enak diikuti.

Baca juga: 5 Tips Menulis Naskah Komedi ala Soleh Solihun

Pekan lalu, saya berkesempatan berbincang dan melontarkan beberapa pertanyaan seputar film dan penulisan naskah pada salah satu tokoh film nasional muda, M. Irfan Ramli, atau akrab disapa Ipang.

Sore itu, saya diundang ke Visinema Pictures, perusahaan yang banyak memproduksi film-film bermutu seperti Filosofi Kopi dan Cahaya Dari Timur. Obrolan kami sendiri di mulai dari kisah terjunnya Ipang ke dunia sinema Tanah Air, sampai mimpinya untuk kelak jadi sutradara film.

Bagaimana cerita awalnya terjun ke dunia perfilman Indonesia?

Sebetulnya, saya tidak sengaja terjun ke dunia ini. Awalnya, saya menulis naskah untuk pertunjukan panggung dengan beberapa seniman, yang kemudian membuat saya berkesempatan terkoneksi dengan Angga Dwimas Sasongko, sutradara yang saat itu sedang menggarap film berjudul Cahaya Dari Timur.

Dari situ, akhirnya saya ikut serta dalam riset film tersebut. Ketika itu, saya bagian dari riset yang Angga cari, yaitu terkait konflik Maluku. Karena, saya berusia 10 tahun saat konflik Maluku terjadi, dan itu ladang buat Angga yang sedang melakukan riset. Setelahnya, Angga bertanya, mengapa saya tidak menulis naskah saja? Saya jawab, "Saya belum pernah menulis naskah film."

Saat itu, naskah Cahaya Dari Timur sudah ditulis empat draft oleh seorang penulis dari Jakarta. Persoalannya, sang produser saat itu butuh sudut pandang dari seorang penulis yang telah mengalami langsung kejadian tersebut untuk penulisan naskahnya. Dari situ lah saya ambil kesempatan tersebut. Film Cahaya Dari Timur pun rilis pada 2014. Bonusnya, film itu menang di Festival Film Indonesia pada tahun yang sama.

Setelahnya, proses terus berjalan. Seperti orang yang ditendang masuk ke dalam kolam dan tidak bisa diselamatkan, pilihan saya hanya dua: lari keluar atau melanjutkan. Karena menurut saya menulis itu menyenangkan, maka saya putuskan untuk meneruskan keadaan terlanjur nyemplung ini.

Apa proses kreatif yang Anda lalui dalam penulisan naskah?

Selalu berbeda-beda. Menulis itu buat saya sama dengan mengulas peristiwa, yang di dalamnya ada peristiwa-peristiwa lain untuk mengiringinya berjalan sampai ending. Kalau dikaitkan dengan istilah writer's block, menurut saya istilah itu hanya mitos. Saya orang yang punya kecenderungan menulis dengan semangat free writing —​bebas dan lepas saja. Soal penulisan naskah juga kan sebenarnya sudah ada formula klasiknya, misalnya tiga babak, delapan sequence. Pengetahuan-pengetahuan dasar seperti itu yang membantu proses penulisan. Jadi, boleh dibilang, selalu tentang bagaimana ide atau gagasan diturunkan jadi sebuah cerita.

Ketika sebuah gagasan matang, dan ceritanya sudah ada, tidak berenti di situ. Cerita terus berkembang. Menariknya, semua proses tahapan akan selalu berbeda di tiap film yang digarap. Selama enam tahun menulis naskah, semuanya selalu dinamis.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Saya menolak mengerjakan sesuatu yang tidak saya ketahui. Pesan saya, tulislah hal yang benar-benar kita pahami, bukan dengan pengetahuan prematur." color="#45ada8"]

Hampir semua karya yang Anda garap selalu erat dengan hal sejarah atau budaya. Apakah Anda memang tertarik dengan hal-hal tersebut?

Menurut saya, yang menjelaskan manusia, salah satunya adalah sejarah dan budaya. Anda harus percaya bahwa apa yang ada hari ini adalah output dari peristiwa dan proses yang panjang. Ada transformasi bentuk, nilai, dan perubahan-perubahan yang terjadi. Baik positif maupun negatif.

Buat saya juga, selama kita masih membuat cerita yang realistis; di mana manusia berdiri menjejak bumi, maka kita mesti memahami bagaimana karakter di dalam cerita menanggapi sebuah persoalan. Dan hal itu tergantung pada latar belakang sosial, budaya, dan sejarah si karakter di dalam cerita.

Baca juga: Tyson Tirta: Membuat Artikel Sejarah jadi Kekinian? Bisa!

Dan untuk itu, riset sangat diperlukan. Saya ingin membuat film tetap berfungsi sebagai satu penanda masa. Maka itu, riset jadi krusial, karena saya menolak mengerjakan sesuatu yang tidak saya ketahui. Tulislah hal yang benar-benar kita pahami, bukan dengan pengetahuan prematur. Dua pondasi penting adalah pengalaman dan pengetahuan.

Menurut Anda, Apa ciri khas Anda sebagai penulis naskah?

Saya orang yang tanpa disengaja selalu menceritakan cerita besar lewat cerita-cerita kecil. Ketertarikan saya memang di situ. Bagaimana menyampaikan sebuah cerita besar melalui karakter-karakter kecil. Saya juga merasa, di dunia ini banyak orang hidup dalam keramaian, tapi masih merasa sepi. Maka itu, saya suka mengangkat cerita-cerita kecil dari orang yang kita kenal.

Apa mimpi yang masih ingin dikejar?

Bisa lebih bebas. Dari eksplorasi sampai ke pilihan penonton. Karena apresiasi itu sebenarnya kan sesuatu yang tidak perlu kita harapkan dengan bermuluk-muluk. Ketika suatu karya memang bagus dan masyarakat siap menerimanya, ya penontonnya akan selalu ada.

Lalu, saya masih ingin terus membuat film. Mungkin, men-direct film sendiri, suatu saat nanti, dan semoga bisa diterima banyak orang. Karena, sebagai pemikir, saya pasti ingin buah pikiran saya diterima orang. Harapan lain, semoga industri dan ruang apresiasi terhadap profesi ini pun makin baik.

Topics: Inspiring, Writers

Related articles