Timur Angin: Jadilah Fotografer yang Rendah Hati

Posted by Zustina Priyatni on May 24, 2017 12:29:45 PM

Demi mengejar passion menangkap dunia dari balik lensa kamera, Timur Angin mendaftarkan dirinya ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk mempelajari fotografi dan film di bidang studi Penyutradaraan Film Dokumenter.

Sejak itu pula, ia mulai berkarya dan berkolaborasi dengan seniman lain untuk mengejar karier di bidang fotografi.

Namanya mulai banyak dikenal sebagai fotografer dokumenter ketika ia bekerja bersama Garin Nugroho, sutradara film dengan beragam penghargaan.

Belajar dan berkembang di lingkungan film dokumenter, Timur Angin telah mendokumentasikan lebih dari 10 film garapan Garin, di antaranya Eliana Eliana, Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.Karya fotonya bersama Garin ini membuka pintu kesempatannya untuk mencuat sebagai fotografer, lebih lebar lagi. Ia juga mulai banyak menggarap foto-foto di luar genre dokumenter yang saat itu seperti sudah jadi zona nyamannya; seperti fotografi komersial, corporate, makanan, fashion, bahkan wedding.

Khusus yang terakhir, juga dikenal sebagai salah satu signature expertise Timur Angin; ia termasuk salah satu fotografer di acara pernikahan aktris Dian Sastrowardoyo.

Apa yang membuat Anda jatuh hati dengan bidang fotografi?

Setelah lulus SMA, saya sudah mulai suka foto, karena lingkungan di sekitar saya memang lagi gandrung memotret, terutama bapak saya, walaupun dia bukan fotografer. Di rumah banyak dipajang foto-foto yang ia jepret saat jalan-jalan. Karena ketertarikan makin kuat akhirnya saya masuk IKJ.

Saat itu saya ambil jurusan film, karena memang disarankan masuk film biar lebih lebar, dan tetap dapat fotografinya juga; sementara kalau ambil khusus fotografi, enggak dapat pelajaran film. Dari situ saya lulus sebagai documentary director. Waktu ujian saya coba bikin film berjudul Fotografer Bule Versus Fotografer Lokal.

Buat fotografinya, dari sejak semester 2, saya sudah mulai mengambil side job. Bolos kuliah buat ngerjain still photography film layar lebar. Pertama kali kerja sambil kuliah itu bareng Mas Garing (Nugroho, red.) Waktu itu saya mendapat kesempatan keliling Indonesia, sebagai fotografer research untuk film dokumenter beliau. Mencari cerita di pedalaman yang bisa dibikin jadi film dokumenter pendek.

Setelah itu juga saya ikut kerja bareng Mbak Mira Lesmana dan Mas Riri Riza, sampai akhirnya keterusan dan makin yakin untuk memilih fotografi sebagai bidang yang diseriusi.

Anda melakukan banyak jenis fotografi. Menurut Anda, apa yang sebetulnya ciri khas karya Anda?

Human interest. Pekerjaan yang datang ke saya pasti shoot on location, jadi bukan yang di-setting. Mau itu iklan ataupun foto untuk corporate. Tapi ya, pada dasarnya, sebagai profesional, seorang fotografer harus bisa mengikuti keinginan dan kebutuhan klien; jadi ya mesti bisa semuanya.

Anda memulai karier sebagai fotojurnalis. Menurut Anda, apa yang jadi perbedaan mendasar di antara fotografi jurnalistik dengan komersial atau corporate?

Perbedaannya, kalau di fotografi jurnalistik kita cukup mencari 3-4 foto bagus untuk bisa menunjukkan satu momen. Sementara pada foto untuk corporate misalnya, semua foto harus bagus. Lain lagi dengan komersial, yang lebih mementingkan komunikasi yang bagus, dukungan tim solid untuk berbagai urusan seperti properti, wardrobe, dan tim produksi.

Selain itu, pada fotografi jurnalistik biasanya lebih banyak kerja sendiri. Eh, enggak juga, waktu itu saya juga mengandalkan ojek langganan yang standby untuk nganterin ke mana-mana.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Menurut saya, fotografer yang sukses tapi tetap humble adalah fotografer yang akan disegani dan dihormati oleh rekan seprofesinya." color="#45ada8"]

Apa persiapan yang pasti Anda lakukan sebelum memotret di lapangan atau lokasi?

Pertama, badan harus sehat. Enggak boleh sakit. Kalaupun sakit, diusahakan tetap memotret secara maksimal, kecuali penyakitnya sudah sangat serius.

Intinya, jangan sampai pemotretan batal karena di fotografer sakit. Kalau cuma meriang, batuk pilek akibat flu, atau kepala pusing aja sih tetap harus kerja.

Maka itu, saat lagi enggak ada foto, ya gunain waktu untuk olahraga, dan istirahat yang cukup. Begitulah seharusnya seorang profesional.

Bagaimana Anda melatih kepekaan, yang merupakan hal penting dari seorang fotografer?

Selain memotret untuk kerjaan, mesti banyak bikin project pribadi. Saya kan suka motret human interest, jadi biasanya sekalian liburan saya banyak motret human interest.

Di situ saya mengasah kemampuan menentukan angle, dan belajar berkomunikasi lebih baik lagi dengan orang-orang yang saya potret.Motret talent profesional yang sudah jago bergaya kan biasa, tapi berhadapan dengan orang-orang yang justru enggak mau dipotret itu lain lagi ceritanya. Selain itu kepekaan bukan hanya soal berhadapan dengan manusia, tapi juga benda. Memortret makanan misalnya, bisa diaplikasikan dengan motret makanan yang kita pesat saat traveling kan, hahaha...

Apa bagian dari proses fotografi yang paling Anda suka?

Pas motretnya! Karena di situlah inti dari fotografi. Selebihnya kasih kepercayaan pada tim pendukung. Biaskan mereka bekerja sesuai bidang masing-masing, dengan kepercayaan yang udah kita kasih.

Siapa fotografer yang menginspirasi Anda?

Enggak ada yang spesifik. Tapi siapa pun itu, saya respect dengan fotografer yang bisa menjaga dirinya tetap survive di bidang ini, sekaligus tetap humble. Tidak sombong. Tidak pongah. Enggak memamerkan kesuksesannya. Ibarat padi, semakin berisi makin merunduk. Itulah fotografer yang akan disegani dan dihormati oleh rekan seprofesinya, menurut saya.

Apa hal yang menurut Anda penting terkait kegiatan marketing seorang fotografer profesional?

Berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik, dan jangan sampai cacat pada project yang digarap. Itu saja otomatis sudah jadi alat marketing yang kuat dengan sendirinya.

Topics: Inspiring, Photographers

Related articles