Majalah Lifestyle Belum Menyerah di Era Digital

Posted by Ramzy Hasibuan on Sep 6, 2017 5:34:10 PM

End of an era. Begitu banyak orang memberi istilah dengan apa yang terjadi pada industri media cetak saat ini, tak terkecuali di Indonesia. Dalam dua tiga tahun belakangan ini, satu persatu perusahaan media mengumumkan penghentian versi cetak, terutama majalah.

Menurunnya pamor majalah cetak tidak memandang nama besar. Salah satu yang mungkin masih segar di ingatan adalah terbitnya edisi terakhir majalah remaja pria terkenal Hai pada Juni lalu.

Majalah terbitan Kompas Gramedia Group itu sudah terbit sejak 1977, dan sempat menjadi trendsetter kaum muda di era '80 dan '90-an. Tamatkah riwayat Hai? Tentu tidak. Pembaca masih tetap membaca Hai “bentuk baru”, yaitu dalam platform digital hai.grid.id.

Perkembangan teknologi digital memang membuat berbagai brand media cetak berpikir kuat dan cepat untuk bisa tetap menjaga eksistensi perusahaan. Ikut mengoptimalkan berbagai platform digital sudah jadi keniscayaan langkah yang mesti ditempuh; tapi bukan berarti juga harus mematikan model usaha berbasis majalah cetak.

Itulah yang juga mengemuka dari perbincangan The Crafters dengan Pemimpin Redaksi Femina, Petty Fatimah, dan Pemimpin Redaksi Esquire Indonesia, Dwi Sutarjantono. Mereka belum menyerah.

Memperkuat strategi konten digital

Sebagai pemimpin majalah cetak dengan nama besar, keduanya mengaku sudah memasang berbagai strategi untuk menghadapi dinamika industri media saat ini. Menurut Dwi Sutarjantono, strategi yang diterapkan di MRA Media Group (yang menaungi Esquire Indonesia) adalah memperkuat kedua lini produk, baik digital, juga majalah cetak.

Namun, khusus untuk platform digital, Dwi mengaku, yang semula hanya "santai" saja, kini sudah lebih serius penguatannya. "Karena berbagai pihak juga sudah mulai menanyakan berbagai hal tentang digital, mulai dari pembaca sampai pengiklan," ungkap Dwi.

Situs Esquire Indonesia (esquire.co.id) mulai lebih serius diperkuat sejak 2015, dan makin signifikan perubahannya pada 2016. Diceritakan Dwi, pada 2015 perbaikan dilakukan pada tampilan, atau lebih ke teknikal; sementara mulai dari akhir 2016 baru mulai fokus memperkaya konten.

"Saat ini kontennya, saya pikir, sudah mantap. Setiap hari kami meng-update sebanyak 3-7 artikel. Tapi ke depannya akan kami perbanyak jumlahnya," jelas Dwi yang sudah memimpin Esquire sejak 2007.

Sementara itu Petty Fatimah menjelaskan, sejak 2010, Femina Group (grup yang menaungi Femina) sudah berusaha melakukan pemetaan target pasar dari tiap media yang diterbitkan grup tersebut.

Hasil pemetaan itu yang kemudian dijadikan landasan strategi konten Femina. "Kami melihat karakter kanalnya, siapa audience di kanal itu, baru tentukan bentuk kontennya," ujar Petty.

Ia lantas mengambil contoh perbedaan konten di berbagai platform yang dimiliki. Artikel di majalah misalnya, disebutkan Petty, lebih bersifat mendalam, inspirasional, dan meluas; sementara konten di femina.co.id lebih ringkas, lugas, dan praktis, serta mengedepankan aktualitas (harus selalu up to date).

Ada lagi konten di akun Facebook, yang lebih banyak menampilkan life story, soal relationship, sampai isu yang tengah menjadi tren.Sementara itu Petty Fatimah menjelaskan, sejak 2010, Femina Group (grup yang menaungi Femina) sudah berusaha melakukan pemetaan target pasar dari tiap media yang diterbitkan grup tersebut.

Hasil pemetaan itu yang kemudian dijadikan landasan strategi konten Femina. "Kami melihat karakter kanalnya, siapa audience di kanal itu, baru tentukan bentuk kontennya," ujar Petty.

Ia lantas mengambil contoh perbedaan konten di berbagai platform yang dimiliki. Artikel di majalah misalnya, disebutkan Petty, lebih bersifat mendalam, inspirasional, dan meluas; sementara konten di femina.co.id lebih ringkas, lugas, dan praktis, serta mengedepankan aktualitas (harus selalu up to date).

Ada lagi konten di akun Facebook, yang lebih banyak menampilkan life story, soal relationship, sampai isu yang tengah menjadi tren.Strategi serupa dilakukan Esquire Indonesia pada dua jenis media yang dijalankan. Dwi Sutarjantono mengungkapkan, sebagai langkah adaptasi dengan karakter pembaca di situsnya, artikel-artikel yang tayang di situs memang berbeda dengan yang ditampilkan di majalah.

Karakter pembaca digital yang diperkirakan cenderung lebih singkat durasi membacanya, dijawab lewat artikel yang tidak terlalu panjang isinya. "Sementara artikel di majalah, karena terbit sebulan sekali, bisa lebih panjang, dan dengan gaya bahasa yang lebih bersifat gaya hidup," kata Dwi.

Sementara buat konten-konten khas majalah lifestyle, seperti fashion spread, Dwi memilih memaksimalkannya lewat konten video, untuk memenuhi kepentingan konten digital.

"Misalnya saja, dengan video behind the scenes, atau menampilkan berbagai momen yang tidak tertangkap lewat fashion spread di majalah. Sehingga konten di versi cetak dan digital itu saling melengkapi," ungkapnya.

Esquire sendiri memiliki channel YouTube Esquire Indonesia, dengan lebih dari 2.300 subscriber. Salah satu contoh videonya, bisa dilihat berikut ini:

Semangat dan optimisme untuk tetap melayani audience

Optimalisasi platform digital tentu tidak hanya sebatas strategi konten. Petty Fatimah dari Femina menyebut, langkah pengembangan komunitas juga jadi strategi yang diambil.

Maka itu, selain menjabat sebagai pemimpin redaksi, seluruh pemimpin redaksi majalah-majalah yang berada di bawah naungan Femina Group juga memiliki jabatan Chief Community Officer, sebagai bentuk leadership untuk pendekatan baru soal komunitas tadi.

Pendekatan ini, dijelaskan Petty, diawali dengan memetakan target pasar tiap media yang berada di bawah naungan Femina Group, ke dalam kelompok-kelompok minat atau karakteristik tertentu, yang nantikan akan dilayani lewat kanal media yang ada, ataupun bermacam aktivitas secara online maupun offline.[edgtf_blockquote show_mark="yes" color="#45ada8" text="Cetak atau digital itu hanya soal medium. Tantangan nyata sebenarnya adalah menyinergikan semua bentuk medium itu, untuk bisa maksimal melayani audience, sekaligus juga menarik buat pengiklan."]Maka itu, selain terus mengembangkan laman femina.co.id, serta juga platform media sosial seperti Instagram dan Twitter, terdapat pula berbagai laman Facebook buatan Femina yang ditujukan untuk berbagai kelompok minat atau karakteristik yang disebutkan Petty tadi.

Sebut saja, laman Facebook Wanita Wirausaha FeminaWomen Leadership Network, hingga Wajah Femina yang mengakomodasi pembaca yang lebih muda untuk mengikuti kompetisi model nasional yang sudah berlangsung sejak 1986 itu.

Berbagai strategi terus dilancarkan demi terus mempertahankan brand sebagai media gaya hidup, dan itupun bukan berarti tantangan bakal mereda.

Petty menyadari ini, menurutnya soal cetak atau digital itu hanya urusan medium. Tantangan nyata sebenarnya adalah menyinergikan semua bentuk medium itu, untuk bisa maksimal melayani audience, sekaligus juga menarik buat pengiklan.

Sementara Dwi Sutarjantono dari Esquire mengaku optimis, dan sudah mulai memetik buah dari keseriusan timnya dalam memperkuat platform digital, termasuk dari permintaan webtorial yang makin banyak. Ia juga mengklaim pengunjung situsnya makin baik."Surprisingly, angka pengunjung kami cukup baik. Bahkan, di beberapa kanal seperti otomotif, performa konten Esquire sangat baik dibandingkan kanal sejenis di kategori majalah lifestyle pria," tandas Dwi.

Dari perbincangan dengan Dwi Sutarjantono dan juga Petty Fatimah, media cetak mungkin memang sudah kehilangan daya dan pamornya, namun bendera putih seperti pantang dikibarkan oleh mereka, dan mungkin para pelaku media cetak lainnya. Dengan berbagai usaha, mereka beradaptasi untuk tetap eksis di era digital.

Topics: Empowering, Insights

Related articles