Monica Hapsari: Soal Spiritualitas dan Seni Instan Generasi Milenial
[edgtf_dropcaps type="normal" color="" background_color=""]S[/edgtf_dropcaps]ebagai penulis, saya selalu suka mewawancarai seniman.
Menurut saya, mereka selalu punya pola pikir yang agak berbeda dengan narasumber dengan profesi lainnya. Dari sepuluh pertanyaan, jawabannya bisa jadi lima halaman, atau lebih ringkas dari satu halaman; namun jawaban yang diberikan kerap unpredictable, dan bisa membuat cara pandang saya terhadap karya si seniman jadi berbeda dari sebelumnya.
Nyatanya, memang proses di balik penciptaan karya itu yang membuat sebuah karya jadi makin mahal.
Bicara tentang hal ini, Monica Hapsari, narasumber saya kali ini memberikan saya perspektif, bukan hanya seputar karya yang "mahal", tapi juga pencerahan dan sesi wawancara yang "mahal" bagi saya.
Rasanya kurang keren, jika sebuah artikel tidak memuat quote inspiratif dari figur terkenal. Dan atas dasar itu, quote Frida Kahlo yang satu ini saya pilih untuk mengawali tulisan saya dari perbincangan dengan Monica Hapsari, penyanyi Voyagers of Icarie, dosen Trend Forecasting di La Salle College Indonesia, ilustrator fashion, dan seniman yang sudah berkarya selama sekitar sebelas tahun. Berikut bunyi quote-nya:[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="I never paint dreams or nightmares. I paint my own reality." color="#45ada8"]
Karya = jati diri
Menurut Frida Kahlo, karyanya melukiskan realitas hidupnya, bukan gambaran impian atau mimpi buruk. Dan jika berbicara pada seniman yang sudah berkarya cukup lama, perjalanan karya mereka biasanya akan sampai pada titik di saat mereka menemukan jati diri mereka, yang kemudian tergambarkan lewat karya yang bisa jadi sangat berbeda dengan karya-karya di masa awal petualangan seninya.
Hal itu pula yang dialami Monic, panggilan akrab Monica Hapsari.
Selama bertahun-tahun, ia dikenal sebagai ilustrator fashion yang gemar menggabungkan berbagai media dan ornamen yang tak biasa. Lukisannya bisa terbuat dari gabungan cat air, charcoal, material tekstil seperti kain, kancing, benang, hingga bordir.
Bermodalkan ilmu yang didapatkannya dari FSRD Jurusan Kriya Tekstil, Institut Teknologi Bandung, juga pengalamannya menjadi stylist di majalah Gadis dan A+, hingga mengisi ilustrasi di berbagai majalah fashion di dalam dan luar negeri, ia kini dikenal sebagai salah satu ilustrator pop dan komersial terbaik di Indonesia.
"Ilustrasi fashion adalah media cari duit."
Setelah melalui sejumlah pameran dan residensi, ia kini menyadari bahwa karyanya kini terbagi dua; pertama, ilustrasi fashion yang dilihatnya sebagai "media cari duit", pure komersial. Lalu yang kedua, adalah karya yang menggambarkan jati dirinya, idealis, dan mungkin hanya bisa dipahami segelintir orang saja.
"Ilustrasi kan memang asal katanya to illustrate, to illuminate, gunanya untuk menjelaskan; jadi cocok banget buat komersial. Sekali lihat, satu layer orang langsung tahu itu tentang apa, easy listening, dan enggak perlu berpikir banyak. Nah, yang kedua lebih ke Fine Art. Ada beberapa layer, berupa bentuk-bentuk basic seperti penggayaan lingkaran, yang sejujurnya sampai sekarang belum dapat formula yang sebenarnya pas," ujar Monic menerangkan.
"Yang susah itu switch di antara kedua itu. Yang satu crowd pleasing banget, ngikutin apa mau orang. Yang satu lagi benar-benar enggak peduli apa omongan orang," sambungnya.Karena dua karya kontras ini, beberapa memandangnya tak punya jati diri. Namun ia tak ambil pusing. Baginya, inti dari seni adalah cara bercerita. Isi dan bagaimana cerita itu disampaikan, tergantung kematangan si pencerita. Biasanya, Monic "bercerita" tentang kehidupan di sekitarnya, seperti tentang fashion, atau masyarakat yang konsumtif.
"Sekarang, gue lebih sering bikin karya yang temanya spiritual, dan hal-hal yang menyangkut hubungan manusia dan inner self-nya," kata Monic.
Karya-karya kontemporernya lahir sejak ia mengikuti residensi di Platform Bandung pada 2016. Karya kontemporernya kini sangat berbeda dengan yang biasa dibuat Monic; dari segi bentuk saja hanya berupa bentuk-bentuk dasar, seperti lingkaran.
"Karya ini, awalnya lahir karena ada keresahan spiritual dalam diri gue, tapi itu enggak bisa gue sampaikan lewat ilustrasi. Dan mentor-mentor gue bilang, memang sulit menyampaikan spiritualitas dalam ilustrasi, karena metode ilustrasi itu cuma satu layer saja, cuma untuk menjelaskan.
Jadi kalau mau menyampaikan beberapa hal sekaligus ya harus bentuk baru, dan gue mulai dari lingkaran dan garis, hingga akhirnya ngomongin semua tentang itu, tentang semesta, Tuhan, dan ke-aku-an; tapi bukan dalam konteks religi atau agama," urainya.
Spiritualitas Monic
Saat sesi wawancara, pembicaraan seputar karya mungkin hanya sekitar setengah jam saja. Begitu sampai di tahap obrolan tentang karya yang menyentuh spiritualitas, kami lalu tenggelam dan melupakan waktu. It's going intense and deep.
Ini pula yang digambarkannya dalam pameran karya kontemporer hasil residensinya di Platform 3 tahun lalu, bertitel "Hu", melukiskan tentang keresahannya sejak lama, yaitu tentang HU dan mengingat jalan kembali pulang; yang ia sebut sebagai konsep spiritualisme.
Dalam hidupnya, selalu ada keresahan dan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya, hingga suatu ketika, di usia 26 tahun, ia larut dalam sesi zikir yang cukup panjang. Konsep dzikir ini yang kemudian ia sadari sebagai salah satu ciri khas karyanya.
Dan dari semua media yang ia pakai, ia paling nyaman dengan benang, sulam tangan (hand embroidery). "Tapi bukan sulam tangan yang ribet. Gue suka sesuatu yang basic banget, misalnya sulam lurus biasa, tapi dilakukan ribuan kali.
Jadi sebenarnya bukan karena tekniknya susah, tapi karena kita teguh di situ, maka akan terlihat hasil ketekunan itu. Itu konsepnya. Seperti zikir, itu yang gue terapkan di karya yang kontemporer. Jadi ada 'laku'-nya. Melakukannya," ujarnya.Untuk karya kontemporernya, proses pembuatannya juga jauh lebih lama dari karya-karya pop-nya. Di muai dari sketsa besar-besar, mengeksplor benang sulamnya, memikirkan jalur perpindahan benangnya, hingga menggunakan teknologi.
"Karena kalau bicara ancient spiritualism, itu ada hubungannya dengan teknologi. Kayak orang Mesir, kenapa bisa bikin piramida di era itu. Semua berpikir, ini ada hubungannya dengan sound levitation. Suara itu ternyata bisa mengangkat benda, jadi kalau kita merapal mantra, sebenarnya bisa mengangkat benda.
Nah, ini sedang gue riset, dan akan gue pakai untuk karya. Nikola Tesla pernah bilang, 'Hari di mana science mulai ngomongin fenomena non fisik, itu kemajuannya akan pesat'," kata Monic memaparkan.
Dalam karyanya yang berjudul Niskala, ada teknologi yang menggunakan magnet, di mana karyanya kemudian mengambang. Menurutnya, science dan spiritualisme itu seharusnya sejalan; hanya saja pemikiran manusia belum sampai ke sana. Baginya, soal mistis itu adalah science yang belum terbukti saja.
Beda generasi, beda mental
Lalu sebagai dosen, ia kerap dikelilingi anak-anak generasi milenial yang penuh ide kreatif, yang seolah memberontak ingin keluar dari "ruang kreatif" yang sempit. Di matanya, cap "ilustrator instan yang lahir berkat sosialisasi di Instagram", yang kerap diasosiasikan dengan anak-anak zaman sekarang, atau seniman kekinian, tidak perlu dipusingkan sama sekali.
"Ya kalau anak sekarang sering dianggap begitu, enggak apa-apa juga sih, karena memang beberapa adalah produk instan. Bukan mendiskreditkan, tapi ya memang prosesnya gitu aja. Pastinya, yang tahu prosesnya kan mereka. Intinya, kita mau ngomong gimana juga, ya balik lagi ke masyarakat. Biarpun instan, tapi tiba-tiba berhasil, ya bagus kan. Tapi, biasanya yang instan, setahu gue sih, sering kurang riset," tandasnya.
Lalu apa bedanya seniman instan dengan yang tidak instan? Menurut Monic, sebagai seniman generasi lalu, kalau yang tidak instan, biasanya tergerus terus mentalnya, dan bisa dihancurkan egonya oleh kurator seni sehingga ia akan semakin matang. Sementara yang instan, tidak biasa mendapat feedback keras, jadi mentalnya tidak kuat. Menurutnya, ini soal pembentukan mental saja.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Dari pengalaman menghadapi mahasiswa, milenial itu turbulence dengan kritik. Ketika mereka menghadapi sesuatu yang negatif, mudah jadi hancur, hilang arah." color="#45ada8"]Dan berdasarkan pengalamannya menghadapi mahasiswanya, milenial itu turbulence dengan kritik. Ketika mereka menghadapi sesuatu yang negatif, mudah jadi hancur, hilang arah. "Padahal potensinya besar, tapi kebiasaan merasa diri hebat itu bahaya banget. Enggak semua orang harus selalu jadi hebat kok," lontar Monic.
"Dulu pun gue mengalami kok, sering dikritik, tapi ya enggak berhenti. Kalau anak sekarang, setelah dikritik bisa sampai enggak masuk kuliah, karena down," imbuhnya. Dan satu lagi yang ia sebut berbeda adalah soal ketekunan. Kebanyakan seniman zaman sekarang ingin karyanya cepat jadi, dan cenderung tidak menikmati prosesnya.
Di era ini, inspirasi bisa datang dari mana saja, semisal dari media sosial, dan hal ini bisa menstimulasi proses pembuatan karya; tapi juga bisa berdampak pada kebiasaan buruk yang akhirnya mengaburkan nilai dan konteks karya yang dibuat oleh seorang seniman."Seniman yang gue suka pun biasanya punya tema besar, mau ngomongin apa, selalu. Tema besar itu mau enggak mau didapatkan dari bagaimana si seniman mengenal hidupnya, jati dirinya, dan personalitasnya. Bedanya sama yang instan, kadang mereka cuma mau melihat yang lucu, lalu bikin karya mirip-mirip yang lucu itu. Tapi lalu pindah-pindah, jadi referensial atau reference based gitu; padahal dia enggak tahu, sebetulnya mau ngomongin apa," tukasnya.
Menurutnya, yang terpenting dalam suatu karya adalah, apa yang sebenarnya ingin disampaikan lewat karya itu. Karyanya sendiri hanya eksekusi teknis, sedangkan cerita dari karya itulah yang utama.
Media untuk mempromomosikan karya
Meski termasuk salah satu seniman yang tumbuh dengan proses pembelajaran ala seniman era lama, yang melalui berbagai terpaan mental dan proses kurasi panjang, ia tak lantas memperkenalkan karyanya dengan cara konvensional. Instagram adalah media yang ia pakai. Baginya, medium itu masih ia anggap paling efektif untuk memperlihatkan karya visual, yang bisa dinikmati berbagai kalangan.
Lalu apa pendapatnya soal sosialisasi karya lewat media cetak di era digital? Sebagai dosen Trend Forecasting, ia melihat soal media cetak yang saat ini sedang "turun" sebagai rotasi tren saja."Intinya, semua akan balik lagi, kayak kaset dulu udah enggak laku, tapi ketika rilisan digital makin besar lagi, akan ada titik di mana kaset akan balik lagi. Bicara tentang hakikatnya, tren itu enggak pernah benar-benar hilang, tapi akan berputar, seperti bell curve; yaitu, mulai dari awal lalu ke puncak lagi, sampai di puncak dan mass produced pasti akan turun, tapi akan ada masanya kembali lagi," ujarnya.
Bicara soal media dan tanggapan orang tentang karyanya, ia tak pernah ambil pusing. Menurutnya, tiap seniman tidak akan tahu tentang akan bagaimana respon masyarakat, sebelum karyanya benar-benar diluncurkan. Dan saat karya itu dipamerkan, tak peduli berapa banyak yang suka atau tidak, penikmatnya akan terseleksi. "Lo itu enggak harus nyenengin banyak orang. Yang penting, orang-orang yang senang sama karya lo emang beneran ngerti," tegasnya.
Ia bahkan mematahkan pertanyaan soal visi lima sampai sepuluh tahun ke depan, karena menurutnya hal itu tidak harus dipikirkan.
"Belum tentu juga kita masih hidup besok, ngapain mikir sampai lima atau 10 tahun ke depan? Jalanin aja tiap hari. Masa depan itu apa yang kita tanam tiap harinya saat ini, sebaik mungkin. Gue enggak pernah punya ambisi, atau target, dan yakin kalau semua sudah ada jalannya, dan semua akan dipermudah. Gue cuma tahu masa kini, and do my best tiap harinya. Itu saja," katanya menutup perbicangan.
Topics: Empowering, Figures