Museum MACAN dan Tantangan Era Selfie

Posted by Ramzy Hasibuan on Nov 15, 2017 6:29:11 PM

Hasil survey 2017 Culture Track di Amerika Serikat menyatakan, 37 persen dari responden survei tidak melihat museum seni sebagai sebuah pengalaman budaya. Sementara hanya 27 persen yang mengaku loyal pada organisasi budaya; kalah jauh dari para loyalis destinasi yang lebih "menarik" lainnya seperti restoran (58%) dan toko retail (48%).

Tren minimnya pengertian dan minat orang untuk mengenal organisasi budaya, termasuk di dalamnya, museum seni, memang menjadi persoalan di banyak negara. Tak terkecuali di Indonesia. Bukan tak mungkin persentase hasil survei di atas, tak jauh hasilnya jika dijaring dari responden di Indonesia.Maka, ketika sebuah destinasi seni baru hadir, maka harapan agar makin banyak orang yang mengapresiasi seni, kembali membumbung tinggi.

Kini di Tanah Air, hadir museum seni dengan predikat "museum seni modern", yang mungkin masih terbilang langka. Namanya, Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN), yang diresmikan pada November 2017.

Pondasi museum ini dibentuk dari koleksi pribadi Haryanto Adikoesoemo, sosok yang dikenal sebagai kolektor seni Indonesia dan internasional sejak 1990.

Museum ini juga didirikan atas visi Haryanto, dengan berbagai tujuan ideal seperti mengembangkan apresiasi seni di Indonesia, menjadi sarana untuk menghubungkan dunia seni Indonesia dengan seni internasional, hingga mengembangkan lingkungan profesional untuk seni dan SDM seni di Indonesia.

Mampukah museum yang terletak di jalan Panjang, Kebon Jeruk ini menjadi jawaban atas harapan yang membumbung tinggi tadi? Kali ini, The Crafters berbincang dengan Aaron Seeto, Director Museum MACAN, untuk mengetahui lebih dalam tentang museum ini.

Sepenting apa hadirnya sebuah museum seni kontemporer modern di Indonesia saat ini?

Jakarta adalah salah satu pusat seni paling dinamis di dunia, dan Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dalam membesarkan seniman berbakat dan pionir dalam berbagai bidang seni. Karena itu, Indonesia sudah semestinya mempunyai sebuah institusi yang berkomitmen untuk mempertunjukkan pencapaian seniman-seniman yang menjadi tolok ukur dunia seni kontemporer saat ini.

Apakah kehadiran museum ini juga untuk mengejar “ketertinggalan” Indonesia dari Singapura, yang relatif sudah mempunyai museum kontemporer modern?

Seperti tadi disampaikan, sebagai salah satu pusat seni paling dinamis di dunia, Jakarta sudah selayaknya memiliki institusi yang berkomitmen untuk menunjukkan pencapaian-pencapaian artistik dari seniman di zaman ini, memberikan program pendidikan seni untuk publik, serta membina pertukaran budaya internasional.

Lebih dari mengejar ketinggalan, museum ini berkomitmen menjalankan misi-misi tersebut melalui pameran reguler, program pendidikan, serta agenda publik lainnya, yang bertujuan untuk mengembangkan kesadaran dan apresiasi terhadap seni.

Karya seni seperti apa yang diharapkan bisa hadir di museum ini?

Tulang punggung Museum MACAN adalah koleksi seni modern dan kontemporer milik Haryanto Adikoesoemo, yang telah dibangun selama lebih dari 25 tahun dan terus berkembang.

Selain itu, museum juga bekerja sama dengan seniman dan praktisi interdisipliner untuk menyajikan karya-karya komisi yang penting untuk masyarakat Indonesia.

Salah satunya, karya komisi pertama dari museum ini, oleh seniman Jepang Yukinori Yanagi. Museum berdiskusi dengan sang seniman sejak dua tahun lalu, juga bekerja sama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia​) untuk mewujudkan karya progresif ASEAN +3 yang fokus pada konsep kenegaraan dan kebangsaan; serta melibatkan ribuan spesies semut khusus yang dikembangkan LIPI, dan dikerjakan dalam jangka waktu panjang.

Bagaimana menjaga mutu kurasi?

Titik awal museum ini adalah koleksi pribadi Haryanto Adikoesoemo, yang telah diakui kekuatannya dalam hal keragaman karya Indonesia dan internasional. Untuk menjaga mutu kurasi, museum memiliki tim kuratorial yang telah dibentuk sejak tahap awal pembuatan museum lebih dari 2 tahun yang lalu.

Dalam pameran inaugurasi, museum bekerja sama dengan dua kurator tamu — Charles Esche dan Agung Hujatnika—  untuk memberikan perspektif global dan akademis terkait pemilihan karya. Untuk pameran-pameran berikutnya, museum akan terus bekerja sama dengan ahli-ahli seni, dari dalam maupun luar negeri, untuk terus menjaga dan meningkatkan mutu kurasi.

Sudah ada program besar yang direncanakan hadir hingga akhir tahun ini?

Pameran inaugurasi kami, Art Turns. World Turns. Exploring the Collection of the Museum of Modern and Contemporary Art berlangsung mulai dari 4 November 2017, hingga 18 Maret 2018.

Selain itu, Ruang Seni Anak Inaugural kami, yang diisi karya komisi Entang Wiharso, juga akan dipamerkan pada kurun waktu tersebut.

Apakah pihak museum tidak mempermasalahkan jika pengunjung muda hanya menjadikan museum ini ajang lokasi selfie di media sosial, ketimbang benar-benar mengapresiasi seni yang ditampilkan?

Di era media sosial, museum dan karya seni adalah bagian dari objek yang dianggap “Instagram-worthy”.

Tidak dapat dimungkiri, kecenderungan ini adalah bagian tak terpisahkan dari era yang kita hidupi kini. Yang dapat museum lakukan adalah usaha yang terarah untuk mengedukasi publik yang datang ke museum, untuk membawa pengunjung selangkah lebih maju dalam hal apresiasi seni —dari apresiasi visual menuju apresiasi yang lebih menyeluruh, secara historis misalnya.

Atau Anda merasa perlu membuat arah program yang lebih memungkinkan pengunjung muda untuk bisa lebih mengapresiasi seni yang dihadirkan?

Edukasi adalah bagian penting dari museum ini. Hal semacam itu kami terjemahkan melalui program publik yang akan kami lakukan secara rutin (misalnya, Weekend Talks bersama seniman dan praktisi seni). Kami berharap, masyarakat dapat mengembangkan perspektif dan apresiasi yang lebih luas terhadap seni.

Simak berbagai update terbaru seputar Museum MACAN di situsnya: museummacan.org

Atau di laman Facebook, dan akun Instagram-nya.

Topics: Empowering, Insights

Related articles