Nicoline Patricia Malina: Jadi Fotografer, Jangan Sombong!

Posted by Cornila Desyana on Sep 18, 2017 5:27:31 PM

Nicoline Patricia Malina, nama yang sudah tidak asing lagi di dunia fotografi. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga mancanegara.

Padahal, di masa kecilnya, Nicoline tidak bercita-cita jadi fotografer. Ia justru kepingin jadi presiden. Tapi, makin besar, perempuan kelahiran Surabaya, 6 Desember 1984 ini semakin tidak tertarik jadi kepala negara. "Ternyata jadi presiden itu sering disalahin," katanya pada The Crafters.

Bahkan sampai usia 15 tahun, Nicoline masih belum tahu persis, apa karier yang bakal ia geluti saat dewasa. Ia sempat berpikir untuk menjadi fashion designer, berdasarkan kursus yang tengah dijalaninya saat itu. Tapi, karena terbentur modal yang tidak kecil, ia pun urung menekuni keterampilan itu, dan berhenti menjalaninya saat lulus SMA.Berbekal beasiswa, Nicoline pun melanjutkan pendidikan ke jurusan Fine Art di Hogeschool voor de Kunsten Utrecht, Belanda. Tak hanya belajar melukis dan menggambar, ia juga menjalani beberapa pekerjaan di sana. Mulai dari make up artist, sampai model foto. "Sementara di waktu senggang, saya coba-coba street photography," kisahnya.

Awalnya, ia menggunakan kamera analog Nikon F2, sesuai rekomendasi teman-temannya. Namun, tak berjalan lama, Nicoline pun berganti kiblat ke kamera digital, karena banyak faktor. Seperti proses fotografi analog yang banyak makan biaya, seperti harga rol film dan cetak foto, sampai kemudahan kamera digital yang memungkinkan kita bisa langsung mengintip hasil jepretan.

"Apalagi saya orangnya kan enggak sabaran, pingin cepet-cepet lihat hasilnya," ujar Nicoline. "Akhirnya, saya ganti ke Canon Digital Rebel 300D."

Pada hari-hari awalnya ia bermain dengan kamera, Nicoline hanya memotret satu dua kali dalam sepekan. Tapi lama-kelamaan jadi semakin sering, bahkan bisa setiap hari. Karena merasa sudah menginvestasikan banyak waktu, ia pun memutuskan untuk tambah serius menggeluti fotografi sebagai jalur profesi.

"Saya mulai dari portrait fo people, kemudian foto fashion yang modelnya teman-teman sendiri, juga dibantu model baru yang lagi bikin portofolio," tuturnya.Selain membantu para model yang membangun portofolionya, Nicoline juga menjadikan foto-foto mereka sebagai portofolio dia sendiri, sekaligus bekal untuk masuk ke lingkungan majalah fashion & beauty. Ia pun mesti bersabar, karena sampai setahun lebih belum ada majalah yang menghubunginya. Tapi Nicoline juga tidak menyerah, ia terus mengirimkan hasil karyanya.

"Kalau belum dibalas, berarti karya saya belum sesuai keinginan mereka. Karena itu, tiap ada progress dalam karya, langsung saya kirimkan," tandasnya.

Semangat pantang menyerahnya itu pun berbuah hasil. Pada 2006, majalah Elle di Belanda menghubungi dan memintanya menjadi fotografer lepas. Pada project pertama, ia harus memotret musisi muda yang tengah naik daun di Belanda, untuk jadi foto pendukung artikel.

Kariernya mulai menunjukkan titik cerah ketika Nicoline menyabet penghargaan Iconique Societás Excellence in Photography Award 2007. Saat itu ia juga dihadapkan pada dua pilihan, kembali ke Tanah Air, atau pindah ke Paris. "Dalam pikiran saya, kalau ke Paris, mulai dari nol dan bakal susah memperoleh izin kerja, karena posisi saya sebagai pekerja kreatif," ungkapnya.

"Dan di sisi lain, saya belum pernah berkarya untuk dan di negeri sendiri," imbuhnya.

Keputusan pulang ke Indonesia pun diambil Nicoline pada 2008. Sebagai orang yang baru belajar dari tanah Eropa dan yakin dengan idealismenya, Nicoline mengaku kalau saat itu ia jadi sosok yang merasa paling benar sendiri.

Ia bahkan kerap mengacuhkan hasil pre production meeting (PPM) dengan klien. Yang ada di pikirannya saat itu, "Apa yang saya buat akan lebih bagus ketimbang keinginan klien."Nyatanya, ia makin menyadari kalau pikirannya itu salah besar. Bahkan, hasil fotonya saat itu sama sekali tidak dipakai, karena tak sesuai dengan keinginan klien. Mulai aware bahwa dirinya adalah orang yang tidak menyenangkan untuk diajak bekerja sama, mumpung masih di awal karier, ia cepat-cepat mengubah sikapnya.

Nicoline pun mulai belajar mengutamakan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan hasil PPM dengan klien. "Karena foto itu bukan untuk jualan si fotografer, tapi klien yang menjualnya," ujarnya.

Ia juga terus mengasah diri untuk tidak mengedepankan ego. Bahkan kini, menurutnya, fotografer sebaiknya hanya punya satu idealisme, yaitu kepuasan klien. Selain itu juga, kini ia lebih mengutamakan kerja sama tim dan berusaha membuat kerja para make up artist, produser, model, props, dan lainnya lebih harmonis, untuk menghasilkan karya yang bagus.

"Fotografer dalam fotografi fashion itu hanya bagian kecil saja; ada banyak pihak lain yang terlibat dan sama pentingnya. Jadi, buat para fotografer, jangan sombong! Yang penting itu karya, bukan nama," tegas Nicoline.[edgtf_blockquote show_mark="yes" text="Fotografer sebaiknya hanya punya satu idealisme, yaitu kepuasan klien." color="#45ada8"]Seiring waktu ia pun mendirikan agensi NPM Photo pada 2013. Dari bisnisnya itu, menurutnya potensi di Indonesia sama dengan di luar negeri. Dari segi kreatif, ia menyebut kalau ia dikelilingi orang-orang dengan etos kerja tinggi dan sangat profesional. "Memang kalau meeting bisa telat atau molor sampai 15 menit. Tapi bukan berarti orang Indonesia malas, sementara bule tidak," katanya.

Untuk menjaga suasana atau membangun hubungan dengan model selama pemotretan, Nicoline berusaha friendly dan membuat suasana senyaman mungkin, seperti misalnya, memutar musik. Menurutnya, hal ini penting, karena talent bakal lebih mudah berpose kalau mereka tidak merasa asing dengan orang yang memotretnya.

Nicoline sendiri mengaku lebih menyukai dunia majalah, karena bisa lebih bebas dan kreatif bereksplorasi. Namun, bukan berarti ia tutup mata dengan perkembangan teknologi digital. Bahkan NPM Photo yang dikelolanya, memiliki service untuk digital photography. Tujuannya, agar ia dan agensinya tetap bisa maju dan tidak tergerus zaman."Saya juga suka melihat kemunculan fotografer muda dan baru di Instagram," ujarnya. "Sebab, sebelum kemunculan Instagram, saya enggak tahu kalau di dunia ada banyak fotografer bagus. Sekarang, saya justru jadi lebih banyak inspirasi dan belajar," sambungnya.

Karena, ia juga menyebutkan, kalau menjadi fotografer fashion dan komersial saat ini memang menuntut Nicoline banyak belajar dan ter-update dengan tema kekinian. Bahkan, ia dan timnya seperti tidak mengenal waktu libur. Sampai Sabtu, Minggu, kadang juga di tengah libur panjang, tak jarang mereka harus berjibaku dalam sesi pemotretan.

Karena itu, kadang juga ia merasa bosan memegang kamera. Dan saat itu terjadi, biasanya ia memutuskan untuk benar-benar tidak memegang kamera sama sekali. "Saya pernah sampai sebulan enggak pegang kamera," katanya. "Saya istirahat, tidur, nonton film, dan jalan-jalan tanpa motret. Akhirnya malah jadi kangen kamera, dan lebih fresh saat kembali ke sesi pemotretan."

Topics: Empowering, Figures

Related articles